Situs Judi Baccarat Domino qiu qiu Sakong QQ

Jejak Djoko Tjandra Rugikan Negara Rp 904 M hingga Kabur 11 Tahun


Jakarta - Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra yang berstatus buron terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali pada 1999 akhirnya tertangkap.
Djoko digiring oleh aparat dari Malaysia dan mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma semalam, tepatnya pukul 22.39 WIB. Djoko langsung dibawa ke Bareskrim Polri.

Pria tersebut telah kabur selama 11 tahun, sejak tahun 2009 setelah merugikan uang negara hingga Rp 904 miliar.

Berikut adalah sepak terjang pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat yang dikumpulkan dari berbagai sumber.

11 Januari 1999

Perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara pihak Bank Bali (Rudy Ramli dan Rusli Suryadi) dan Djoko S Tjandra selaku Direktur PT Persada Harum Lestari mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap Bank Tiara sebesar Rp 38.000.000.000 dibuat. Penyerahan kepada Bank Bali (BB) selambat-lambatnya tanggal 11 Juni 1999.

Dibuat juga perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara dua pihak yang sama. Namun, dalam perjanjian ini Djoko berperan sebagai Direktur PT Era Giat Prima (EGP).

Perjanjian ini mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI dan BUN dengan nilai pokok seluruhnya sebesar Rp 798.091.770.000. Penyerahan kepada BB selambat-lambatnya 3 bulan sejak tanggal perjanjian ini dibuat.

Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli dan Direktur Firman Sucahya menandatangani perjanjian cessie dengan Direktur Utama PT EGP Setya Novanto.

Melalui perjanjian itu, BB menjual seluruh tagihan pinjaman antarbanknya kepada BDNI, BUN (keduanya dilikuidasi 1998), dan Bank Bira pada PT EGP. Total tagihan pinjaman antarbank milik Bank Bali kepada BDNI, BUN dan Bank Bira mencapai Rp 3 triliun.

8 September 1999

Laporan hasil audit terhadap PT Bank Bali oleh PricewaterhouseCoopers (PwC) terbit. Tata cara yang berlaku untuk GGS pada BPPN dan BI tidak cukup untuk menghindari terulangnya kejadian serupa. PwC mengusulkan agar dibuat metode terpadu untuk menyelamatkan dana yang sudah diselewengkan pada masa lalu.

PwC menganjurkan dilakukan investigasi atas pihak-pihak tertentu, seperti menteri, pejabat senior pemerintah, oknum anggota DPR dan partai, serta pelaku bisnis terkemuka, namun tidak dianjurkan atas individu tertentu.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

27 September 1999

Perkara korupsi cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra mulai diusut oleh Kejaksaan Agung sesuai dengan laporan dari Bismar Mannu, Direktur Tindak Pidana Korupsi kepada Jaksa Agung.

29 September 1999 - 8 November 1999

Djoko Tjandra ditahan oleh Kejaksaan.

9 November 1999 - 13 Januari 2000

Djoko Tjandra menjadi tahanan kota kejaksaan.

14 Januari 2000 - 10 Februari 2000

Djoko Tjandra kembali ditahan oleh kejaksaan.

9 Februari 2000

Kasus cessie skandal Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

10 Februari 2000 - 10 Maret 2000

Berdasarkan ketetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djoko Tjandra kembali menjadi tahanan kota.

6 Maret 2000

Putusan sela hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap kasus Djoko Tjandra tidak dapat diterima. Djoko Tjandra dilepaskan dari tahanan kota. Jaksa mengajukan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.

31 Maret 2000

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi. Memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.

19 April 2000

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk Soedarto (hakim ketua majelis), Muchtar Ritonga dan Sultan Mangun (hakim anggota) sebagai hakim yang memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.

April 2000 - Agustus 2000

Upaya perlawanan jaksa berhasil. Proses persidangan Djoko Tjandra selaku Direktur Utama PT Era Giat Prima mulai bergulir. Djoko Tjandra didakwa jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.

Fakta-fakta menunjukkan, pemindahbukuan dari rekening bendaharawan negara ke Bank Bali berdasarkan penjaminan transaksi PT BDNI terhadap Bank Bali menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 904.642.428.369.

Djoko Tjandra pun dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara. Djoko juga dituntut membayar denda sebesar Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan, serta harus membayar biaya perkara sebesar Rp 7.500.

Sedang uang sebesar Rp 546 miliar milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account Bank Bali agar dikembalikan pada negara.

28 Agustus 2000

Majelis hakim memutuskan Djoko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, sebenarnya dakwaan JPU terhadap perbuatan Djoko Tjandra terbukti secara hukum. Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Djoko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum.

21 September 2000

Antasari, selaku JPU, mengajukan kasasi.

26 Juni 2001

Majelis hakim agung MA melepaskan Djoko S Tjandra dari segala tuntutan. Putusan itu diambil dengan mekanisme voting dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo Alkotsar mengenai permohonan kasasi Djoko Tjandra yang diajukan oleh JPU.

12 Juni 2003

Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk meminta petunjuk. Permintaan ini akhirnya tak terwujud dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan BPPN.

17 Juni 2003

Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan di atas.

19 Juni 2003

BPPN meminta fatwa MA dan penundaan eksekusi keputusan MA (Juni 2001) yang memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Djoko Tjandra. Alasannya, ada dua keputusan MA yang bertentangan.

25 Juni 2003

Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya menyatakan MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

1 Juli 2003

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Antasari Azhar menyatakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.

2 Maret 2004

Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus Martowardojo. Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana senilai Rp 546 miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Djoko Tjandra dan politikus Partai Golkar Setya Novanto.

Post a Comment

0 Comments